Tuesday, July 21, 2009

Empowering My Body

Seorang teman berhasil mengelola myomnya dan berbaik hati berbagi pengalaman untuk kita semua dalam lima cerita. Ini adalah kisahnya yang terakhir.

Seorang dokter pengobatan Cina mengatakan padaku bahwa dalam pengobatan Cina, yang dilakukan adalah meningkatkan imunitas dengan meningkatkan fungsi organ-organ tubuh sehingga bisa bekerja dengan maksimal. Hal senada juga merupakan prinsip dalam pengobatan Ayurveda, pengobatan kuno India.

Pada dasarnya, tubuh memiliki kemampuan untuk survival dan menyembuhkan diri sendiri. Secara prinsip, makanan harus mampu dicerna dengan baik oleh tubuh dan zat-zat yang tak berguna harus mampu dikeluarkan oleh tubuh. Idealnya begitu.

Nah, kita mundur sedikit. Myom-ku berkembang karena tingkat estrogen tinggi dalam tubuhku. Estrogen ada dalam semua yang bernyawa, mulai dari ayam hingga sapi. Jadi saat makan daging, kita menambah jumlah estrogen dalam tubuh kita. Untungnya aku tak suka daging.

Pestisida dalam sayur mayur pun memiliki aktivitas seperti estrogen. Ini tak bisa selalu kuhindari. Apa boleh buat. Tetapi, aku percaya, kelebihan estrogenku ini mestinya bisa dikelola dengan lebih baik agar pertumbuhan myom-ku tidak terlalu cepat.

Memang, estrogen seharusnya mampu dikeluarkan oleh tubuhku. Tapi, fungsi pembuangan tidak terjadi dengan baik karena organ tubuhku tak berfungsi dengan baik lagi. Karena tubuhku tak kurawat dengan baik. Akibatnya, estrogenku terjebak dan bertumpuk di sel-sel tubuhku dan membentuk myom di rahimku.

Jadi kelebihan estrogen ini dikarenakan tubuhku tak mampu mebuangnya dengan sempurna. Ketidakmampuan organ tubuh bekerja dengan baik disebabkan oleh beberapa hal termasuk dua hal utama: kurangnya makanan yang berkualitas serta kurangnya olahraga yang teratur.

Makanan yang baik akan diolah menjadi nutrisi yang akan diguyurkan ke sel-sel tubuh kita dan mempersenjatai sel-sel tubuh melawan paparan segala racun, mulai dari pestisida, pengawet, klorin di air minum kita hingga polusi udara dengan cara mengikat dan mengeluarkannya dari tubuh kita.

Selain nutrisi, oksigen juga penting untuk berperan mengalahkan tumor dan kanker. Dengan berolahraga, tubuh akan mendapatkan lebih banyak oksigen. Tumor dan kanker merupakan blockage dalam tubuh, oksigen merupakan musuh utamanya, kata beberapa dokter. Mengenai hal ini, aku lupa penjelasan detilnya. Tetapi secara logika, jika tubuh memiliki lebih banyak oksigen, imunitas akan meningkat, hasilnya tubuh akan memiliki kemampuan lebih baik untuk menyembuhkan diri sendiri.

Selain itu, jika kita kurang berolahraga maka lemak pun akan makin banyak tertimbun. Estrogen diproduksi oleh lemak yang berada dalam tubuh kita, dengan demikian maka makin banyaklah estrogenku jika aku kurang berolahraga.

Jadi, makanan yang berkualitas dan olahraga adalah cara yang kupilih untuk meningkatkan imunitasku. Aku kini sudah berolahraga lebih rutin. Paling tidak, hasilnya telah kurasakan. Namun, saat ini, aku masih belum mampu secara disiplin memberi makanan yang berkualitas bagi tubuhku, pasalnya aku tak pintar memasak. Oleh karena itu, belajar memasak, akan menjadi prioritasku dalam beberapa bulan ke depan saat cara hidupku sudah makin lebih teratur.

Dengan pembenahan dan menata ulang prioritas serta cara hidupku, myom-ku tidak sering memberontak lagi. Aku pun makin yakin dengan jalan yang telah kupilih.

Belajar empowering tubuh sendiri.

Minimalis

Seorang teman yang berhasil mengelola myomnya berbaik hati berbagi pengalaman untuk kita semua dalam lima cerita. Ini adalah kisahnya yang keempat.

Arsitek yang membangun rumahku mengatakan, “Beberapa klienku mengatakan ingin rumah yang minimalis, tetapi sebenarnya gaya hidup mereka maksimalis. Baru sekarang ini aku punya klien yang cara hidupnya sangat minimalis.” Saat itu aku juga baru tahu, aku termasuk dalam jajaran orang langka karena memiliki kebutuhan yang super minim.

Saat kecil, setiap minggu, saat orangtuaku tak ada di rumah, aku selalu memanggil simbok rombeng (ibu-ibu yang membeli barang-barang rongsokan dengan mendatangi rumah-rumah). Kedua orangtuaku adalah kolektor sampah. Mulai dari karet gelang hingga kaos robek, bagi mereka, semuanya pasti akan berguna di masa depan! Jadi, hari minggu adalah hari yang kutunggu.

Mulai dari kaleng, botol hingga baju, aku rombengkan alias kujual. Baju ayahku saat jaman dia pacaran dengan ibuku, kulego juga. Aku senang karena bisa bernegosiasi tawar menawar menjual barang-barang ‘kesayangan’ yang tak berguna itu. Uangnya kutabung – aku gemar menabung karena tak tahu uangnya harus kuapakan. Jadi celenganku yang dari tanah liat itu makin mantap saja rasanya. Lebih berat!

Setiap kali ada barang hilang, almarhum ayahku menengok ke arahku sambil mengatakan, “Aneh ya, kok rasanya barang-barangku menghilang!” Aku bilang, “Ah, itu hanya perasaan papa saja,” sembari ngeloyor menjauh. Simbok rombeng sangat senang, akupun juga riang. Kebiasaan ini kubawa hingga ke rumah baruku. Rumah kubangun dengan open space dan hampir tak punya gudang.

Prinsipku, jika barang tak ditengok selama setengah tahun, barang tersebut tak diperlukan. Lemari pakaianku kukelola dengan rutin menyumbang ke mereka yang membutuhkan. Jadi aku hanya memiliki segelintir pakaian. Pakaian yang kumiliki kupilih yang berbahan enteng dan tak perlu diseterika setelah dicuci. Jadi jika tak ada pembantu, aku tak terlalu repot. Buku-buku yang habis kubaca dan tak lagi kusentuh, banyak juga yang kusumbangkan pada perpustakaan sekolah atau siapa saja yang mau. Piring, cangkir, hingga handuk, aku hanya punya masing-masing 2 biji. Kalau ada tamu? Yah, beli saja air mineral atau softdrink di warung depan. Gampang!

Kata temanku, aku tinggal di rumah berdesain 21st century, tetapi dengan cara jaman batu. Tidak memiliki barang-barang elektronik yang normalnya dimiliki oleh manusia jaman sekarang, khususnya TV!

Ini yang selalu jadi bahan tertawaan teman-teman. Sima bilang, “Jangan ke rumah dia, dia tak punya TV.” Teman yang lain bilang, “Kamu bisa masuk ke Guinness Book of Record atau minimal MURI.” Well, aku tak punya waktu untuk nonton TV. Hingga kini, aku tak punya DVD player, radio, microwave, mesin cuci, dan ah… entah apalagi... Intinya, barang-barang tersebut tak kubutuhkan. Yang jelas, karena rumahku minim barang elektronik, tak ada kekhawatiran meninggalkan rumah kosong. Tanpa beban!

Cara hidup yang senantiasa kusederhanakan ini membuat hidupku lebih nyaman dan enteng. Rumahku kubuat low maintenance. Kebunku seluas 150 m2 kubuat simple. Hanya kutanami pohon-pohon yang mampu mencari ‘makan’ sendiri, misalnya pohon pisang, petai cina, sengon, ketapang. Eh, pohon-pohonku punya fungsi tambahan juga: untuk menjemur pakaian. Tinggal kugantung di pohon-pohon itu seluruh jemuranku. Praktis, tak membutuhkan alat jemuran.

Ikanku pun tak kumanjakan untuk makan setiap hari. Kuajari mereka untuk berdiet! Makan tiga hari sekali dariku, selebihnya mereka makan lumut-lumut di tepian kolam. Toh, mereka tetap gendut-gendut. Apalagi? Mobil? Aku tak punya. Aku pilih naik taksi. Dan masih banyak hal lain yang kuusahakan kusederhanakan semampunya.

Bagiku, cara hidup minimalis ini adalah latihan terus menerus untuk senantiasa fokus terhadap hal-hal yang penting. A lifetime process untuk senantiasa melepaskan hal-hal yang tidak diperlukan. Simplifying all complications guna meningkatkan kualitas hidup. Itu tujuan utamanya. Latihan ini tak kuhentikan pada kepemilikan terhadap materi saja tetapi juga ke pikiran-pikiran yang tidak terlalu penting.

Oleh karena itu, nonton TV adalah sesuatu yang kuhindari sejak beberapa tahun terakhir. Bagi kebanyakan orang ini hal yang ekstrim. Tetapi, ada banyak kegiatan yang jauh lebih berguna untuk kuprioritaskan. Film-film drama yang mengaduk-aduk emosi, film-film laga yang penuh kekerasan yang sering tak masuk akal, kini tak menarik minatku lagi. Walhasil, aku tidak memiliki TV.

It’s a boring life, kata seorang teman. Tetapi, hatiku enteng, riang.

Jadi, gaya hidup minimalis, kurasa mungkin bisa cocok dan bermanfaat untuk penderita myom sepertiku…

Semi-retired

Seorang teman berhasil mengelola myomnya dan berbaik hati berbagi pengalaman untuk kita semua dalam lima cerita. Ini adalah kisah yang kedua.

Karakterku yang terbiasa selalu cepat, kurang sabaran dan kebiasaan bertahun-tahun untuk melakukan berbagai hal sekaligus membuat tubuhku mengalami tekanan tinggi. Dokter yang juga accupunturist yang merawatku mengatakan aku memiliki tingkat adrenalin yang secara konsisten sangat tinggi sehingga aku berada dalam posisi waspada bahkan di saat tidur. Beberapa tahun terakhir aku tak lagi memiliki kualitas tidur seperti dulu karena suhu badanku terasa lebih hangat dan kualitas tidur yang jelek ini membuatku makin tidak sabaran di keesokan harinya.

Menjelang usiaku menginjak 40, almarhum ayahku menyarankan agar aku pensiun. Kakakku yang juga telah pensiun dini sebelum 40, juga menyarankan agar aku semi pensiun dan mulai berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Tidak berarti berhenti kerja total. Tetapi, tidak lagi bekerja untuk mengejar uang ataupun reputasi. Mereka mengatakan, “Kamu sudah cukup mengumpulkan uang. Dengan cara hidupmu serta kebutuhanmu yang amat sangat sederhana, uang yang kamu kumpulkan tak akan mampu kamu habiskan hingga saat kamu mati nanti.”

Aku pikirpun begitu.

Kebutuhanku boleh dibilang sangat minim dibanding orang kebanyakan. Aku hidup sendiri sehingga tak memiliki tanggungan finansial keluarga. Aku memiliki hobi yang sederhana seperti olahraga dan berkebun. Satu-satunya hobi yang mahal adalah traveling ke luar negeri yang rutin kulakukan sejak usia awal 20-an dan kini telah kuhentikan.

Untuk pensiun, yang paling sulit adalah memulainya! Mulutku mengatakan aku akan pensiun, tetapi pikiran tetap tidak pensiun. Saat pulang kantor, pikiranku tetap hectic. Aku masih menelepon dan meng-email para stafku untuk ini itu. Saat berbaring sambil tiduran, aku masih memikirkan urusan kantor. Sambil mandi pun masih mikirin kantor!

Sebulan dua bulan berlalu hingga mencapai setahun, janji untuk pensiun tidak segera terlaksana. Padahal myom-ku mulai membesar. Pelan tapi pasti. Akupun terlupa. Aku rasa, aku juga tak tahu harus memulai dari mana.

Perutku pun mulai terlihat seperti hamil 4 bulan. Aku merubah pakaianku dengan mengenakan pakaian hamil yang sekarang sedang nge-trend. Aku sebal sekali melihat tubuhku yang dulu langsing singset, lantas mengenakan baju seperti daster. Akupun berjalan dan duduk secara berbeda. Tak lagi tegak! Untuk menutupi perutku yang gendut.

September tahun lalu, aku mengalami pendarahan hebat. Wake up call untukku! Aku lantas kelabakan cari info ini itu dan bersiap ke Singapura untuk operasi. Tetapi singkat kata, kubatalkan, dan aku memulai sebuah perjalanan yang mungkin tak banyak dipilih orang yang mengalami penyakit yang sama. Aku memutuskan untuk benar-benar semi pensiun dengan seluruh risikonya.

Sejak mengurangi kegiatan kantor, myomku lebih mampu kukelola dengan baik. Melalui program-program yang kupilih dan kujalankan dengan makin disiplin, kini aku jarang mengalami kram perut lagi. Bulan Juni ini, setelah selama hampir 6 bulan aku melaksanakan berbagai program untuk mengelola myom-ku, aku akhirnya mampu bertahan melewati pendarahan rutin bulanan tanpa pain killer sebutir pun. September lalu, dalam rentang waktu 5 hari, aku harus menelan 30 butir painkiller, 30 butir obat pengental darah dan 10 butir obat penambah darah. Bulan ini aku hanya mengkonsumsi 1 butir obat pengental darah dan 2 butir obat penambah darah. No pain killer at all.

Again, I’m on the right path. Cihuy!

Sederhanakan Cara Hidup: Pilih Kegiatan Yang Berkualitas

Seorang teman yang berhasil mengelola myomnya dan berbaik hati membagi pengalamannya untuk kita semua dalam lima cerita. Ini adalah cerita yang ketiga.

Waktu adalah kemewahan. Namun, myomku tak kenal kompromi. Tak peduli aku punya waktu atau tidak, jika aku tidak merawat tubuh dan pikiran, aku harus mengalami kesakitan. Satpamku ini jauh lebih strict dibandingkan para suster di sekolah SMA-ku dulu. Tak ada dispensasi dan tak bisa kutipu.

Jadi aku berusaha mengalokasi waktu semaksimal mungkin merawat tubuh dan pikiranku. Cara yang efektif menurutku adalah menyederhanakan cara hidup dengan membatasi kegiatan yang tak terlalu kubutuhkan. Kupilih kegiatan-kegiatan yang berkualitas, yang akan membantu tubuh dan pikiranku menjadi lebih baik.

Keseharianku kubuat lebih ada keteraturan. Pagi hari, bangun tidur sekitar pukul 5.30, aku berusaha cepat bangkit dari tempat tidur. Kuusahakan tidak bersantai ria di tempat tidur sambil membiarkan pikiran berkelana kesana kemari. Aku lantas mematikan lampu-lampu dan memanggil ke enam ikanku. Saatnya mereka makan! Mulut mungil mereka muncul diatas permukaan air, membuka tutup, minta makan. Aku duduk sebentar menonton mereka makan lahap. Kumulai pagi dengan rasa tenang. Pagi yang baik!

Lantas aku meditasi 45 menit. Meditasi adalah inti dari seluruh programku. Kuusahakan meditasi tiap hari, tapi masih belum mampu sedisiplin itu. Kadang aku masih membolos, tapi makin lama makin rutin juga. Nah, jika pagi hari terasa malas, ‘kubayar’ di malam harinya. Jika aku mampu melewati meditasi selama 45 menit pagi itu, maka pikiranku umumnya menjadi lebih stabil di hari tersebut.

Seusai merapikan kamar, aku menyiapkan buah untuk sarapan pagi. Ini masih belum tertib juga. Tetapi, akan kuusahakan makan pagi dengan menyiapkan sendiri makananku. Konon, makanan yang disiapkan dengan hati senang, mendapatkan energi yang baik untuk tubuh kita.

Aku makan dengan mengunyah perlahan hingga amat lembut. Makan adalah satu kegiatan yang kusukai. Aku dikenal tak suka makan dengan terburu-buru, minimal 30 menit. Makan dengan hati senang. Mandi pun membutuhkan waktu minimal 30 menit. Kunikmati air yang mengucur. Membayangkan semua ‘kotoran’ terguyur hanyut dibawa air. Menggosok seluruh badan pun aku tak suka serampangan. Mandi dengan hati riang, bagiku itu penting. Pagi yang dimulai dengan keteraturan tanpa terburu-buru sangat membantu mencegah kram myom-ku.

Setelah beres, aku ke kantor. Makan siang pun aku tak mau telat. Agar mood-ku terjaga dengan baik.

Kini, aku berusaha tepat waktu untuk pulang, jam lima jika akan ke gym dan sebelum jam tujuh jika tidak ke gym. Aku ke gym tiga atau empat kali seminggu untuk mengikuti kelas yoga selama dua jam. Di gym, setelah yoga, aku mandi, dan lantas minum jus buah. Malam hari sekitar pukul 8.30 aku sampai di rumah, aku sudah mengantuk berat. Tidur pun menjadi pulas dan lebih berkualitas. Selain yoga, selama tiga tahun terakhir ini, seminggu sekali aku belajar tai-chi, martial art dari Cina. Ini investasi masa tua nanti. Di saat tua nanti, aku masih ingin olahraga, kurasa tai-chi adalah pilihan yang tepat.

Selain olahraga, aku juga memanjakan diriku sendiri dengan body massage di rumah. Seminggu sekali saat akhir pekan. Ini adalah kegiatan yang penting, kusukai dan kulakukan sejak kecil di kampung halaman. Tubuh yang digenjot olahraga, perlu dirawat juga dengan dipijat agar otot-otot tubuh menjadi rileks.

Kebetulan hobi-hobiku cukup sederhana dan tidak membutuhkan efforts yang besar. Aku suka berkebun, olahraga, merawat rumah, membaca dan sesekali bertemu dengan teman-teman. Kegiatan yang tidak hectic begini, membuat ‘satpamku’ alias myom-ku tidak berada dalam situasi siaga. Artinya, aku berada on the right track again!

Kini, aku juga tak lagi melakukan traveling ke ujung-ujung dunia dan melakukan kegiatan adventurous seperti mendaki Himalaya. Traveling akan mengganggu jadwal yoga serta meditasiku. Mungkin nanti, aku akan traveling lagi, tapi kini traveling tak menjadi prioritasku. Dan entah kenapa, aku pun sedang tak berminat. Jadi, kini kegiatan yang kutambahkan dalam keseharianku hanyalah meditasi dan yoga.

Eh, belajar memasak sedang kupertimbangkan!

Myom-ku, Satpam Setiaku

Seorang teman yang berhasil mengelola myomnya berbaik hati berbagi pengalaman untuk kita semua dalam lima cerita. Ini adalah kisahnya yang pertama.

Perkenalkan satpamku, nama kerennya dalam terminologi medis adalah myom, fibroid, tumor, yang ngendon di rahimku. Ukurannya 8 cm. Sering bikin ulah. Kalau aku sedang terburu-buru, dia ngambek, terus perutku menjadi kram. Jika aku khawatir tentang sesuatu, dia membengkak dan mendesak rahimku mencuat hingga seperti ibu hamil 4 bulan.

Aku sempat pendarahan hebat di rumah, pingsan di kamar dan Hb menjadi 6,3. Para dokter dan teman-teman menyarankan aku operasi. Aku menolak. Bukan karena aku keras kepala, tetapi lebih karena informasi yang kuperoleh tidak memuaskan logika berpikirku: bahwa operasi adalah solusi yang tepat untuk kondisiku. Teman-temanku yang mengalami hal yang sama, hampir semuanya memilih operasi. Jadi, aku memilih ‘the road less travelled’.

Saat aku terbaring di klinik mengalami pendarahan, dan dikerubungi para dokter dan perawat yang panik terkesima melihat perutku tiba-tiba membengkak seperti tudung saji, aku sempat merasakan kesedihan luar biasa. Tapi hanya sekejab, kemudian aku ingat, “Yang kualami ini tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit yang dialami Sima. I will be all right. This is not about a life and death situation. Jadi, tak perlu sedih berlebihan. Pikirkan saja solusinya, itu lebih urgent.”

Aku sangat yakin, penyakitku merupakan sebuah akibat dari cara hidupku yang serba cepat dan stressful. Aku berkonsultasi dengan beberapa dokter – umumnya tidak memberikan gambaran yang utuh dan bahkan cenderung menakut-nakutiku bahwa myom-ku bisa menjadi kanker dan agar segera melakukan operasi. Aku pun lantas membaca beberapa penelitian dan medical journal, dan menemukan bahwa informasi yang diberikan para dokter tidak sepenuhnya benar.

Kuputuskan berusaha mengelola sendiri sakitku. Setahap demi setahap aku membuat berbagai perencanaan. Mulai dari merawat tubuh, pikiran hingga memutuskan untuk semi-retired.

Aku mulai memperlakukan myom-ku sebagai the new member of the family in my body. Kalau sedang kram, kuletakkan tanganku, sambil merasakan aliran hangatnya tanganku, aku bilang, “Maaf ya, aku kurang hati-hati sehingga membuatmu kram. Aku akan slow down.” Lantas aku merebahkan tubuhku, menarik napas panjang, dan fokus untuk merasakan aliran oksigen ke rahimku. Kata seorang dokter yang mendalami pengobatan tradisional cina, oksigen adalah salah satu musuh utama myom-ku.

Selama beberapa bulan, sepertinya myom-ku tak mereaksi, tetapi pada bulan kesekian, aku mulai merasakan sebuah proses yang sangat subtle, myom-ku melentur dengan amat sangat perlahan. Dalam waktu dua hari kemudian, kramku akan menghilang. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, jika kram, maka tak akan mampu melentur tanpa bantuan accupunturist-ku. Sehingga, jika aku tidak sempat ditusuk jarum, selama berbulan-bulan kemudian, perutku akan tetap dalam posisi kram. Nah, kini aku mampu merasakan proses melenturnya myom-ku, kemampuan merasakan proses yang halus ini bisa kumiliki karena pikiranku juga makin kurawat sehingga aku makin mampu melihat hal-hal yang awalnya tak mampu kulihat ataupun kurasa sebelumnya. So, I’m on the right path!

Dari waktu ke waktu teman-teman sering mempertanyakan tentang myom-ku. Sembari guyon aku bilang, “Aiyah, biar saja, kupelihara myom-ku. Kayak satpam yang galak. Agar aku disiplin merubah cara hidupku.” Saat berjalan kaki menuju kantor, saat menyeberang jalan dan terburu-buru, perutku akan langsung kram, “Ah, aku harus slow down.” Peringatannya seketika dan tidak ada negosiasi. Pilihannya, aku tetap berjalan terburu-buru dan mengalami kram perut atau memperlambat jalanku dan myom-ku dengan sangat perlahan akan melentur.

Tanpa myom-ku mungkin aku tak akan pernah benar-benar menata ulang hidupku. Jika myom-ku kuoperasi, siapa yang akan mengingatkanku saat aku lupa merawat pikiran dan tubuhku lagi? Satpam setiaku ini berperan seperti alarm dalam tubuhku yang akan secara otomatis mengingatkan saat tubuh dan pikiranku not on the right track. Jadi, in a way, aku juga berterima kasih dengan memiliki myom. Aku harap aku tak akan membutuhkan operasi hingga tiba saat menopause nanti, saat myom-ku akan mulai mengecil karena estrogen level-ku yang akan turun tajam sehingga myom-ku juga akan mengempis dengan sendirinya.

Friday, July 17, 2009

Jamu kunir putih, mau?

Teng teng teng teng teng ting tong ting tong…
Bel berbunyi pagi2. Pasti ini pak Satpam yang kemarin aku mintai tolong bayar PBB ke BRI.
Eh, bukan. Ternyata si mbak Jamu.
Mulai akhir bulan kemarin aku langganan jamu kunir putih sama si mbak yang tiap pagi bersepeda keliling kompleks. Tapi sudah hampir seminggu dia tak muncul.
“Baru kembali dari kampung. Anak saya butuh uang buat bayar sekolah. Kasihan mbahnya kalau saya nggak kasih,” kata si mbak yang menitipkan 2 orang anaknya ke mbah mereka.
Si mbak orang Sragen, Jateng, bersuamikan orang Purwokerto, Banyumas. Mereka tinggal di Ciputat sedangkan kedua anaknya ikut si mbah di Banyumas. Yang masih ditanggung biaya sekolahnya adalah si bungsu sedangkan si sulung sudah selesai SMA dan tidak melanjutkan sekolah.
“Saya kemarin baru memberi uang Rp 450.000 untuk biaya sekolah,” cerita si mbak yang bercaping bambu dengan sumringah. (Suaminya ngapain ya… ? hmm nanti deh aku tanya)
Dulu sekali memang aku pernah membeli jamu kunir asam sekali dua kali. Belakangan timbul ide untuk minum jamu kunir putih yang kabarnya bagus sekali untuk melawan kanker karena ada teman sesama pesenam, eh, maksudnya ada ibu-ibu anggota kelompok senam pagi yang berjualan berbagai barang organik, termasuk jamu.
Kapan itu ada yang beli 1 botol sari jamu seharga Rp 78 ribu. Katanya bagus untuk suaminya yang kena diabetes.
Tak lama setelah pulang dari senam, kebetulan mbak Jamu lewat. Ada beras kencur, air sirih, kunir asam dll. Tapi ia tak menjual kunir putih. Aku pilih kunir asam. Harganya Rp 2.000 se mug lumayan besar (ini mug gratisan bertulisan Anlene yg dulu kudapat waktu beli susu… lumayan...). Kalo pake gelas kecil sih paling cuma Rp 1.000. Lalu si mbak merayu, menawarkan cemilannya. Dia juga menjual kacang goreng yang dibungkus plastik kecil-kecil, peyek dan opak.
“Murah lho. Ini cuma Rp 2.000. Enak,” katanya dalam bahasa Jawa, menawarkan satu plastik berisi empat opak berdiameter sekitar 12.5 cm.
Akhirnya aku beli. Antara kepingin dan tidak tega.
Dengan berbahasa Jawa ala kadarnya, aku utarakan maksud untuk memesan jamu kunir putih, yang dengan segera disanggupinya. Jamu yang dimasukkan ke botol bekas sirup Marjan untuk dikonsumsi selama dua hari dihargai Rp 8.000.
“Saya ini kalau memberi harga melihat orangnya dulu. Itu ibu yang di sana saya kasih harga Rp 10.000 karena dia itu Cina,” katanya.
Gedubrak… x)>?!!##%@!!!!
Aku cuma tersenyum kecut.
“Aku juga Cina lho mbak,” kataku, tapi cuma dalam hati. Biar aja nanti dia tau sendiri.
Oh oh oh …Kasihan deh elu… Cina.

Monday, July 6, 2009

Buy 3 get 1 free

Bukan hanya sepatu dan baju yang bisa didiskon. Obat juga, termasuk Zoladex yang harganya selangit itu.
Sayangnya, berbeda dengan obral sepatu dan baju di mal-mal yang gencar disampaikan lewat iklan besar di media masa, info tentang diskon obat tak pernah diumumkan secara terbuka. Kita harus rajin bertanya ke dokter.
Aku beruntung mendapat SMS dari salesman langgananku.

"Buy three get one free," begitu katanya beberapa hari yang lalu.
Tiap bulan aku disuntik Zoladex sebagai terapi hormon untuk memblokir estrogen yang diyakini merangsang pertumbuhan sel-sel kanker.
Info lebih lanjut tentang Zoladex ada di http://www.cancernet.co.uk/zoladex.htm
Jika berminat untuk mengikuti program buy three get one free, hubungi aku lewat email.

Gudeg dan Capres

Kena kanker bukan berarti harus mengurung diri dan merenungi nasib. Kita masih bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan. Termasuk jalan-jalan.
Belum lama ini aku ke Jogja dan Solo untuk bertemu beberapa teman lama.
“Ntar ketemuan di mBarek ya, sambil makan gudeg,” aku email temenku, Rio, memintanya menemani makan di salah satu warung gudeg yang terkenal enak.
“Gudeg actually is not my best choice tapi tak apalah nemenim teman yang pasti sudah ngempet lamaaaaa banget tuh hampir ngeces saking penginnya makan gudeg Jogja,” jawabnya sambil ngeledeg.
Dulu, waktu kuliah di Jogja, aku ga hobi2 amat makan gudeg, tapi ga tau ya, belakangan ini rasanya sering kepingin makan gudeg. Sayangnya susah nyari gudeg enak di Jakarta.
You don’t know what you get until you lose it. Begitu kata2 yang tertulis dalam pin yang aku beli pada jaman dahulu kala. Betul juga ya. Bukan hanya soal gudeg aja. Sekarang ini masih banyak lho orang yang kena penyakit AIDS = Aku Ingin Dekat Soeharto. Kalo Soeharto jadi capres, pasti banyak yang ingin memilihnya.
Soeharto dulu sukses menyuruh orang ikut KB. Ia juga sukses mendorong penduduk dari Sabang sampai Merauke untuk makan nasi. Orang yang dulu terbiasa makan sagu, jagung dan singkong, jadi doyan nasi dan menjadikannya makanan pokok mereka. Padi ditanam di mana2 untuk memenuhi swasembada pangan. Sukses besar, sampai akhirnya produksi padi menurun karena kualitas tanah berkurang akibat pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang merusak lingkungan.
Barulah orang sadar kalau ternyata diversivikasi makanan pokok itu penting juga.
Soeharto kan lahirnya ga jauh dari kota Jogja, kenapa ya waktu itu dia nggak nyuruh orang2 makan gudeg? Karena itu aku bukan penggemar Soeharto.
Di Jogja, aku mampir ke asrama tempat aku tinggal selama 4 tahun. Ya ampun.. sekarang berbeda sekali keadaaanya. Dulu bersih dan rapi. Sekarang agak kurang terawat.
Ruang tamu dipenuhi meja dan kursi. Rupanya fungsinya sudah berubah, merangkap sebagai ruang makan dan ruang belajar. Di halaman yang terletak di depan kamar2 sekarang terdapat tempat mencuci piring dan dapur ala kadarnya.
Ruangan besar yang dulu berfungsi sebagai ruang makan dan ruang belajar kini disewakan untuk umum.Tampaknya asrama ini kekurangan dana. Di jamanku dulu, kabarnya ada bantuan dari luar, tapi sekarang nggak lagi. Karena itu asrama ini perlu mencari sumber dana sendiri agar tak terlalu membebani para penghuninya.
Kasus ini berbeda dengan universitas2 negeri yang serta merta menaikkan uang pendaftaran dan uang kuliah begitu pemerintah menghentikan subsidinya.
Capres yang ada harus dapat menghentikan komersialisasi pendidikan dan mendorong lembaga pendidikan untuk menghasilkan SDM yang tangguh, yang berprestasi, termasuk mampu membuat gudeg yang enak.
Dari Jogja, perjalanan berlanjut ke Solo. Aku memilih naik Pramex yang ternyata tak ada hubungannya dengan obat sakit kepala. Ini adalah Prambanan Ekspres, kereta api dengan waktu tempuh 1 jam untuk rute Jogja-Solo. Kalau naik bis atau travel (kenapa namanya travel?) bisa makan waktu 2 jam.
Tapi oh, baru sadar kalo ini ternyata KA ekonomi yang tempat duduknya terbatas. Aduh, kalo gitu, susah dong dapat tempat duduk, apalagi ini musim liburan. Lemes deh. Terbayang beratnya berdesak-desakan di kereta dengan ransel tersandang di punggung dan tentengan kantong plastik berisi 2 dos brownies dari Jakarta dan beberapa dos bakpia pathuk buatan Jogja untuk oleh2.
“Ntar kan ada orang yg ngasih tempat duduk...,” kata Anggi, temanku dengan nada menghibur.
Pasrah deh. Dengan menggenggam karcis seharga Rp 7 ribu, aku masuk ke dalam kereta dengan memasang muka memelas. Gerbong lumayan penuh meskipun tak sampai berdesak-desakan seperti sardin, tapi jelas tak ada tempat duduk yang tersisa. Beberapa orang menggelar koran bekas dan duduk dengan santai di lantai kereta.
Tiba-tiba seorang lelaki muda berdiri dari tempat duduknya dan menawarkannya kepadaku sambil tersenyum. Pasti ia tergerak oleh mimik muka melankolisku.
Tempat duduk yang seharusnya untuk dua orang itu telah diisi oleh dua perempuan belia yang duduk berdempetan, menyisakan sedikit ruang di ujung bangku.
Meski tak dapat duduk dengan sempurna dan pantat terasa kurang nyaman beradu dengan bangku yang keras, aku sangat berterima kasih kepada si Mas yang baik hati itu.
Sementara orang berebut kursi, ia rela menyerahkannya tanpa mengharapkan imbalan apa2. Ia memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.
Siapa pun yang memimpin negeri ini, ia harus memiliki karakter seperti itu. And he must be sweet.... like gudeg.

Versi bahasa Inggris dapat dibaca di sini

Friday, July 3, 2009

Berjuang untuk baik-baik saja

Lama sekali tak ada berita. Ada apa? Pasti begitu yang terbersit di benak teman-teman semua.
Yach.. memang sudah hampir 2 bulan blog ini mati suri. Keterlaluan...!! Kalo namanya orang kerja, pasti udah dipecat.. hu.. hu...
Ada beberapa hal. Salah satunya adalah alasan yang paling klasik, yaitu sibuk. Huh.. huh... Alasan lainnya adalah, tiba-tiba saja hilang mood untuk menulis.
Dalam dunia tulis menulis ada yang disebut writer’s blog, eh salah, maksudnya writer’s block. Dalam kondisi seperti ini penulis bingung mau nulis apa.
Tapi kondisiku berbeda. Yang ini namanya adalah writer’s glog. Glog boleh diartikan gelo, tapi gelo-nya Jawa Tengah ya, bukan gelo-nya Jawa Barat. Soalnya dalam bahasa Sunda gelo artinya gila, sedangkan dalam bahasa Jawa, gelo artinya .. hmm apa ya yang pas... kecewa?. Karena lama tidak menulis, maka penulis menjadi kecewa karena mungkin telah membuat orang kecewa.
Maaf ya.... kalau ada yang kecewa (hehehehee... ge-er... )
Kalau kesehatanku sendiri, baik-baik saja. Baik dalam arti tampaknya tidak memburuk. Masih dapat beraktivitas seperti biasa. Malahan kemarin ini sempat jalan-jalan ke Jogja dan Jateng dan bertemu teman-teman lama.
Kita ngobrol ngalor ngidul. Dan tersebarlah berita di antara teman-teman bahwa aku kena kanker.
Kata kanker memang masih membuat orang merinding. Seorang teman sengaja tak mau menyebut kata kanker, tapi CA.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat telepon dari seorang teman yang juga sudah lamaaaa sekali tak berjumpa.
“Apa kabar? Katanya sakit ya?”
“Iya, tapi ga papa kok.”
“Kamu masih kerja?”
“Masih”
“Kamu baik2 aja?”
“Iya, baik2 aja. Trims ya.”
“Oh ya syukurlah.”
Setelah ia mengetahui bahwa aku baik-baik saja, maka pembicaraanpun disudahi.
Salah satu faktor penentu untuk bisa baik-baik saja adalah diri kita sendiri. Kita harus berjuang untuk berada dalam kondisi baik-baik saja. Hilangkan segala pikiran yang mengganggu. Jangan banyak pikiran. Usahakan sedapat mungkin santai saja dalam menghadapi hidup ini.
Pasti banyak yang protes. Gimana mau santai kalo kena kanker? Ya sih.. memang nggak santai-santai amat. Tetap waspada. Tapi maksudnya, jangan terlalu dipikirkan. Berserahlah.
Selain itu, untuk bisa baik-baik saja diperlukan perjuangan. Kita harus berjuang untuk disiplin.
Salah satunya adalah perjuangan untuk selalu minum jus dan banyak makan sayur-sayuran dan buah-buahan.
Hari ini aku absen tidak minum jus. Dan baru makan setengah buah apel. (Yang setengahnya masih ada tuh dalam tas, nanti aku akan makan dalam perjalanan pulang ke rumah- sekarang aku masih di kantor). Soalnya sebelum aku nge-jus, mendadak ada undangan dari teman yang baru datang dari luar kota untuk makan bakmi GM di Pondok Indah Mall.
Biarpun tak ngejus, aku usahakan mencari alternatifnya dengan minum segelas air jeruk murni. Lumayan kan...
Perjuangan lain adalah berusaha untuk rajin berolah-raga. Sudah hampir 2 bulan ini aku sering ikut senam pagi di halaman parkir Carrefour. Senam diadakan setiap pagi dari hari Senin sampai Kamis dan hari Sabtu. Peserta senam jumlahnya tak menentu, kadang-kadang beberapa belas, kadang dua-puluhan. Kalau hari Sabtu, jumlahnya melonjak pesat.
Senamnya bermacam-macam, mulai dari senam pernafasan hingga senam disko dan chi-kung. Bayarnya murah lho, hanya Rp 15.000 per bulan. Ikutan yuuk?
Manfaatnya terasa. Badan lebih enak.
Oh ya, kadang-kadang badanku terasa pegal linu. Entah kenapa. Yang terakhir ini, pegal-pegal menyerang kaki, jadi kalau berjalan agak sedikit terseok. Tapi tak parah. Masih dapat berjalan ke sana ke mari, naik turun tangga, hanya saja tak bisa berjalan cepat-cepat, lari-lari dan lompat-lompat...
Emangnya kodok....